placeholder image

© Arshinta/WCC

“Benar, gereja dan lembaga-lembaga berbasis gereja membutuhkan bukti untuk percaya bahwa pembahasan dan aksi-aksi kita selama ini untuk menangani perubahan iklim ini dan dampaknya ada dalam jalur yang benar walaupun kecepatannya salah alias kurang cepat,” Isaiah Kipyegon Toroitich staf advokasi di Sekretariat ACT Alliance menyampaikan kesimpulannya setelah perbincangan dengan Rev. Dr. Jochen Motte dari UEM (United Evangelical Mission) dan Sophia Wirsching dari BfDW (Brot für Die Welt) membahas tentang isu Climate Changedi stan ACT Talk yang menjadi bagian dari Program Madang selama Sidang Raya Dewan Gereja Sedunia ke-10 di Busan.

Isaiah memahami bahwa banyak pesimisme yang dia dengar seolah-oleh topik perubahan iklim hanya semata berisi perundingan dan negosiasi karbon tanpa dampak nyata. Tetapi setelah menggarap isu ini selama 7 tahun dalam karirnya, Isaiah yakin bahwa ada progress yang menjadi indikator bahwa upaya-upaya kita selama ini berada dalam jalur yang benar. Beberapa milestone yang dapat dilihat sebagai indikator kemajuan adalah terbentuknya Green Climate Fund oleh PBB yang digunakan oleh negara-negara anggota untuk melakukan aksi konkrit berupa adaptasi terhadap perubahan iklim di tingkat lokal. Selain itu perubahan iklim menjadi topik penting yang selalu menjadi perhatian utama pemerintah nasional, media, bahkan di jaringan gereja seperti WCC. Topik ini juga tidak hanya dibahas tetapi berbagai kegiatan dan program dilakukan berbagai pihak di tingkat lokal untuk menjawab dampak yang ditimbulkannya. Selain itu kegiatan-kegiatan adaptasi maupun mitigasi dampak perubahan iklim ini semakin didukung oleh ilmu pengetahuan dan data yang sahih sehingga relatif lebih mudah untuk memonitoring dan mengevaluasi hasilnya. “Semua itu menunjukkan bahwa kita memiliki harapan untuk melanjutkan upaya gereja dan lembaga-lembaga terkait (specialized ministries) dalam hal perubahan iklim,” Isaiah menandaskan. Rev. Dr. Jochen Motte dalam pemaparannya menyatakan bahwa isu perubahan iklim sebenarnya adalah isu tentang hak asasi manusia karena dampak perubahan iklim sering mengakibatkan tidak tepenuhinya hak dasar manusia seperti hak terhadap layanan kesehatan, kepemilikan lahan, pemenuhan sandang dan papan, dst. Sophia Wirsching juga menyampaikan bahwa dampak perubahan iklim sering menimbulkan gangguan pada proses pembangunan sehingga mau tidak mau sebagai anggota ACT yang menggunakan kerangka keberlanjutan dalam desain dan pelaksanaan program, BfDW harus memberi prioritas pada isu ini. Isaiah yakin bahwa ACT Alliance berada dalam posisi yang strategis untuk mengerjakan isu perubahan iklim ini karena ACT Alliance berkarya lewat anggota-anggotanya yang berada dan mengakar di tingkat grass root dan terhubung di tingkat nasional dan global serta menggabungkan pendekatan berbasis kebutuhan (basic need based) dan berbasis hak (basic right based) sehingga pendekatannya komprehensif. Selain itu anggota ACT Alliance fokus pada kebutuhan dan hak mereka yang paling terpinggirkan.

ACT Alliance adalah badan yang dibentuk WCC (World Council of Churches) dan LWF (Lutheran World Federation) untuk menangani pekerjaan development dan relief. Aliansi ini merupakan gabungan dari ACT Internasional yang dibentuk 1995 dan ACT Development yang dibentuk tahun 2007 oleh WCC dan LWF untuk menciptakan perubahan positif yang berkelanjutan bagi mereka yang miskin dan terpinggirkan. Oleh karenanya ACT Alliance berakar pada iman Kristiani yang sama dan mempunyai tradisi oikumene yang sama dengan WCC. Saat ini ada lebih dari 140 lembaga berbasis gereja yang bekerja di 140 negara yang menjadi anggota ACT Alliance. Lebih jauh tentang ACT Alliance dapat dilihat di webnya:www.actalliance.org (Arshinta)